(JAKARTA), simaknews.id – Dilansir Antara, April ini, jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) memasuki fase akhir tahun pelajaran. Tengah semester genap berlalu sudah, tersisa, setengah semester akhir. Itu pun hanya ada kelas bawah dan kelas tengah. Adapun untuk kelas ujung, selesai sudah, end game. Dulu, ketika masih ada Ujian Nasional (UN), bulan April selalu diisi dengan kesibukan dan ketegangan,latihan menghadapi ujian, try out, simulasi, dan lain sebagainya. Untuk jenjang SMA, UN memang biasanya diadakan di sekitaran bulan April ini. Sejak kemunculannya, UN begitu penting, karena akan menentukan kelulusan. Ini yang membuat siswa kelas akhir begitu tegang. Sejak naik ke kelas akhir, pikiran siswa hanya tertuju kepada satu tujuan, lulus UN.
Seiring berjalannya waktu, kebijakan UN dimodifikasi, karena banyaknya keluhan. Namun ternyata pentingnya UN di mata siswa tak banyak mengalami perubahan. Bahkan akhirnya tak lagi signifikan untuk menentukan kelulusan. Selanjutnya masuk fase ujian masuk Perguruan Tinggi (Universitas).
Bicara tentang ujian seleksi masuk universitas, yang paling populer adalah ujian bersama masuk universitas negeri. Kini, setelah beberapa kali berubah nama, ujian ini dikenal dengan sebutan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Selain UTBK, ada juga ujian mandiri yang diadakan masing-masing universitas.
Regulasi ujian diatur oleh sebuah lembaga yang berada di bawah naungan Kemendikbudristek. Namanya Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT). Sudah banyak kebijakan yang dihasilkan lembaga ini sejak dibentuk. Tujuannya agar calon mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi negeri benar-benar berkualitas, hasil dari seleksi yang baik dan benar.
Sejak 2020, UN sudah dihapuskan. Fungsi UN pun diambil alih oleh kebijakan baru bernama Asesmen Nasional (AN), yang baru bisa mulai dilakukan setahun setelahnya (2021) –setelah tertunda beberapa waktu, lagi-lagi karena pandemi berkepanjangan. Uniknya, bukan kelas ujung yang mengikutinya, tetapi kelas tengah.
Bahkan AN digadang akan meningkatkan kompetensi literasi numerasi dan literasi membaca siswa Indonesia. Selama ini, kompetensi ini memang terbilang rendah, jika kita merujuk nilai Indonesia pada standar Programme for International Students Assessment (PISA). Ada tiga instrumen di dalam AN, yakni Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Bukan hanya siswa, guru pun ikut mengisi sebagian survei tersebut. Bisa dikatakan penghapusan UN memang kebijakan yang bijak. UN memang banyak memunculkan polemik di masyarakat.
Kini, setelah UN dihapuskan, kondisi tidak serta merta membaik. Kelulusan kembali ditentukan oleh sekolah seperti sedia kala. Sekolah pastinya akan bergantung kepada masukan dari dewan guru. Muncullah kembali stigma bahwa guru akan selalu meluluskan siswa. Hal ini membuat siswa tak lagi setegang dulu, ketika masih ada UN. Justru, ada indikasi siswa cenderung lebih santai (bahkan terlalu santai) menghadapi ujian akhir sekolah dan kelulusan. Toh pasti akan diluluskan (ini juga rahasia umum), itu yang munkin ada di benak siswa.
Seperti halnya kurikulum merdeka, bulan April seolah menjadi bulan merdeka bagi siswa yang ada di kelas ujung. Formalitas belajar selesai, tak ada lagi UN yang mencekam dan menakutkan. Mereka hanya akan fokus menghadapi UTBK dan ujian mandiri. Rasanya, kelulusan menjadi formalitas belaka, hanya akan menjadi tanda perpisahan dan kesempatan untuk studi lanjutan. Perpisahan atau pelepasan menjadi hajatan terakhir sekolah di akhir tahun pelajaran. Perpisahan adalah momen terakhir kebersamaan, sebelum seluruh siswa melanjutkan pendidikan ke level selanjutnya. Persiapan perpisahan biasanya juga dimulai pada bulan April ini.
Bagi pendidik, perpisahan ini bisa jadi momentum. Momentum untuk mengingatkan kembali siswa tentang esensi pendidikan. Pendidikan yang tidak hanya dilakukan untuk mengejar predikat kelulusan. Apalagi hanya untuk selembar ijazah. Pendidikan adalah tentang membangun makna dalam kehidupan. Sekolah, sebagai tempat mengenyam pendidikan, seharusnya memiliki banyak cerita yang akan membangun makna tersebut.
Cerita apa yang akan bermakna? Cerita perjuangan menuntut ilmu, mencintai ilmu, dan mengenal Sang Pemilik ilmu. Setelahnya, ilmu akan diamalkan untuk mendapatkan kebenaran dalam kehidupan. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Shakuntala Devi, seorang jenius Matematika asal India yang dijuluki “Manusia Komputer.” Katanya, pendidikan bukan hanya tentang pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Ini tentang memperluas pengetahuan dan menyerap kebenaran tentang kehidupan.
Mungkin sebagian kalangan berharap pemerintah dan DPR katanya akan segera merevisi Undang-Undang (UU) 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). *