SIMAKNEWS.ID – NU (Nahdlatul Ulama) didirikan pada 16 Rajab 1344 H (yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926) di Kota Surabaya oleh seorang ulama dan para pedagang untuk membela praktik Islam tradisionalis (sesuai dengan akidah Asy’ariyah dan fikih Mazhab Syafi’i) dan kepentingan ekonomi anggotanya.
Nahdlatul Ulama (NU, bahasa Arab: نَهْضَةُ الْعُلَمَاءْ, translit. nahḍatul ‘ulamā’, har. ‘Kebangkitan Ulama’;) adalah organisasi keagamaan Islam Indonesia didirikan oleh Hasyim Asy’ari, kepala Pondok Pesantren Tebuireng dari Jombang, Jawa Timur. NU memiliki anggota berkisar dari 40 juta (2013) hingga lebih dari 95 juta pada Tahun (2021) yang menjadikannya sebagai organisasi Islam terbesar di dunia.(wikipedia.org)
NU juga merupakan badan amal yang mengelola pondok pesantren, sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit serta mengorganisir masyarakat untuk membantu peningkatan kualitas hidup umat Islam.
Pandangan keagamaan NU dianggap “tradisionalis” karena menoleransi budaya lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Hal ini membedakannya dengan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, yang dianggap “reformis” karena membutuhkan interpretasi yang lebih literal terhadap Al-Qur’an dan Sunnah.
Beberapa tokoh Nahdlatul Ulama adalah pendukung konsep islam nusantara, sebuah ciri khas Islam yang telah mengalami interaksi, kontekstualisasi, pribumisasi, interpretasi, dan vernakularisasi sesuai dengan kondisi sosial budaya di Indonesia. Islam Nusantara mempromosikan moderasi, anti-fundamentalisme, pluralisme dan pada titik tertentu, sinkretisme.
Asal usul. Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 sebagai organisasi ulama Muslim Asy’ari ortodoks, yang berbeda pandangan dengan kebijakan modernis Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), dan munculnya gerakan Salafi dari organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Indonesia yang sama sekali menolak adat istiadat setempat yang dipengaruhi oleh tradisi Hindu dan Buddha Jawa pra-Islam.
Organisasi ini didirikan setelah Komite Hijaz telah memenuhi tugasnya dan akan dibubarkan. Organisasi ini didirikan oleh Hasyim Asy’ari, kepala pesantren di Jawa Timur. Organisasi NU berkembang, tetapi basis dukungannya tetap di Jawa Timur. Pada tahun 1928, NU menggunakan bahasa Jawa dalam khotbahnya, di samping bahasa Arab.
Pada tahun 1937, meskipun hubungan NU dengan organisasi-organisasi Islam Sunni lainnya di Indonesia buruk, organisasi-organisasi tersebut membentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) sebagai forum diskusi. Mereka bergabung dengan sebagian besar organisasi Islam lainnya yang ada pada saat itu. Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia dan pada bulan September diadakan konferensi para pemimpin Islam di Jakarta.
Jepang ingin menggantikan MIAI, tetapi konferensi tidak hanya memutuskan untuk mempertahankan organisasi, tetapi juga memilih tokoh-tokoh politik yang tergabung dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) untuk kepemimpinan, daripada anggota non-politik NU atau Muhammadiyah seperti yang diinginkan penjajah. Lebih dari setahun kemudian, MIAI dibubarkan dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang disponsori Jepang.
Hasjim Asjari adalah ketua nasional, tetapi dalam praktiknya organisasi baru itu dipimpin oleh putranya, Wahid Hasyim. Tokoh NU dan Muhammadiyah lainnya memegang posisi kepemimpinan.
Pada tahun 1945, Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Selama perang kemerdekaan Indonesia, NU menyatakan bahwa perang melawan pasukan kolonial Belanda adalah jihad/perang suci, wajib bagi semua umat Islam. Di antara kelompok gerilya yang memperjuangkan kemerdekaan adalah Hizbullah dan Sabililah yang dipimpin oleh NU.*